Title: A Beautiful Morning in Seoul
Author: Rachma Lestari
Genre: Comedy-Romantic
Cast: Jung Hyongwa, Ryu Hyoyoung, Ryu
Hwayoung
Disclaimer: Salah satu naskah yang
pernah kukirim untuk lomba “Setiap Kota Punya Cerita.” Sebenarnya setting awalnya di Indonesia dan memakai
karakter orang Indonesia. Tapi aku modif menjadi nuansa korea dan memakai
tokoh-tokoh yang sudah kita kenal. ^^
Note: Sebenarnya ingin memakai karakter Lee Jonghyun, tapi dalam rangka ulang tahun Jung Yonghwa, aku menggantinya dengan dia. Kekeke. Enjoy!
A Beautiful Morning in Seoul
-Jung Yonghwa-
Masih
jam lima pagi dan aku sudah duduk manis di salah satu taman yang ada di Seoul.
Matahari masih malu-malu menyapa dari ufuk timur. Dinginnya sisa udara malam
masih terasa di sekujur tubuh. Kurapatkan resleting jaketku. Jika bukan karena
dia, aku tak akan pernah rela memasang alarm jam enam pagi, lalu bersiap untuk
datang ke tempat ini. Meski yang selalu terjadi adalah aku hanya duduk dengan
botol air mineralku dan koran yang kubeli di dalam perjalananku kemari. Terlalu
rajin untuk bangun pagi dan terlalu malas menggerakkan kakiku untuk berlari di jogging track. Lalu apa yang kulakukan
di sini? Pertanyaan itu akan terjawab sekitar 10 menit lagi. Kurang lebih.
Kubuka
botol air mineralku dan meneguk secukupnya, sekedar membasahi tenggorokan yang
kering. Seorang perempuan dengan kaos putih dan celana training berwarna ungu berlari di area jogging track di depanku. Perempuan itu berhenti lalu berjalan ke
area kosong di luar jogging track.
Dia mulai melakukan gerakan-gerakan dasar senam; merentangkan kedua tangannya
ke samping, merentangkan kedua tangannya ke atas, membungkukkan badannya hingga
tangannya menyentuh ujung kakinya, meletakkan kedua tangannya di pinggang lalu
menarik badanannya ke belakang.
Aku
tersenyum tanpa kusadari. Pemandangan inilah yang membuatku datang ke sini tiap
Minggu sejak 2 tahun lalu. Dua tahun berlalu, aku masih setia menjadi penontonnya,
tanpa pernah berniat sedikitpun untuk terjun ke dunianya.
***
Pagi
minggu kedua di bulan Mei tiba. Tak perlu kujelaskan lagi apa yang sedang
kulakukan di taman pagi ini, bukan?
Kulihat
jam Armani di pergelangan tanganku.
Begitu aku mendongakkan wajahku kembali, perempuan yang kutunggu sudah tiba.
‘Kutunggu’ mungkin bukan kata yang tepat karena sesungguhnya perempuan itu tak
pernah membuat janji denganku.
Kali
ini dia langsung duduk di salah satu tempat duduk tak jauh dariku. Membeli
sebotol air mineral di pedagang terdekat dan meneguknya habis dalam hitungan
detik.
Sepersekian
detik mata kami bertemu di satu titik, tapi dia segera mengalihkan pandangannya
ke arah lain. Ya, apa yang mau kuharapkan sebenarnya? Dia tersenyum padaku?
Tersenyum pada orang asing yang tidak melakukan apapun di Minggu pagi? In your dream, dude.
Sorot
matanya menyapu ke seluruh area di sekitar kami dan akhirnya berhenti di
penjual sup daging sapi panas di sampingku. This
is it. Dia berjalan ke arahku. Maksudku, ke ibu penjual sup.
“Ahjumma, supnya satu,” ucapnya.
Dia
melihat ke arahku.
“Permisi,
tempat duduk ini kosong?” tanyanya menunjuk sisi lain bangku yang kududuki.
Aku
mengangguk.
Tubuhku
terbujur kaku di sebelahnya. Dua tahun berlalu dan baru kali ini aku berada
sedekat ini di dekatnya. Well, tentu
saja setelah kejadian itu.
***
Dua tahun lalu di taman yang sama di Seoul…
Entah sudah
putaran ke berapa aku berlari di area jogging
track ini. Puluhan? Tidak. Aku berani bertaruh bahwa putaran ini sudah
mencapai tiga digit angka. Kakiku terus berlari, memaksa tubuhku untuk tetap
tegak mengimbanginya. Jika bukan karena syarat berat badan di lowongan
pekerjaan yang akan aku apply, aku
tidak akan memaksakan tubuhku berolahraga seperti ini.
Kakiku
masih berlari, namun anggota tubuhku yang lain mulai memberikan sinyal untuk
menyerah. Tubuhku terasa lemas dan pandangan mataku lambat laun memudar,
kehilangan fokusnya.
Bruk.
Aku terjatuh di
area jogging track. Orang-orang yang
ada di sekitarku secara otomatis mendekatiku dan menolongku. Sebuah jemari yang
terasa lembut di kulitku menyentuh lenganku. Dia berlutut di sebelahku, tampak
cemas melihat kondisiku.
“Tolong,
Ahjussi. Tolong diangkat ke pinggir,
ke tempat yang lebih teduh. Tolong jangan berkerumun seperti ini, nanti dia
malah tidak bisa menghirup udara segar,” ucapnya pada orang-orang di sekitar
kami.
“Cepatlah
sadar.”
Dia
mendeatkan sebotol minyak kayu putih ke arah hidungku, mencoba menyadarkanku
dengan baunya. Kukerjap-kerjapkan mataku.
“Syukurlah kamu sadar.”
Dia
memberiku botol air mineral.
“Diminum
dulu.”
Aku
meneguknya dan pandanganku sudah kembali lagi. Orang-orang di sekitarku mulai
membubarkan diri, tapi tidak dengan perempuan di sampingku yang menolongku.
“Kamu
tadi pingsan, mungkin terlalu capek berolahraga,” ucapnya memberitahuku sesaat
setelah raut wajahku menunjukkan kebingungannya.
“Oh
gitu…”
Hanya
itu kata-kata yang keluar dari mulutku.
“Kamu
mau sarapan? Sepertinya kamu butuh sarapan,” tawarnya lagi. Kali ini
benar-benar hanya dia yang masih menemaniku. Orang-orang mulai melanjutkan
aktivitasnya masing-masing, setelah cukup ‘terhibur’ dengan ambruknya badanku
tadi.
Aku
hanya mengangguk.
“Ahjumma, tolong supnya satu.”
Dia
memesan satu semanggi untukku.
“Kamu
tidak makan?” tanyaku.
Dia
mengeleng.
“Aku
sudah makan tadi. Mungkin saat kamu mencapai putaranmu yang ke-50.”
Aku
terkekeh.
“Sudah
mengamatiku dari tadi?”
Dia
mengangguk.
“Maksud
hati ingin beristirahat dan pulang, tapi siapa sangka ada pemandangan aneh yang
terjadi. Di saat orang lain menyerah berlari, kamu malah terus berlari dan
berlari. Ada mungkin udah ratusan,” jawabnya.
Aku
tertawa.
“Benar-benar
tidak seperti orang yang habis pingsan,” decaknya.
Aku
makin tertawa.
“Jung Yonghwa,” ucapku memperkenalkan
diri.
“Ryu Hyoyoung,” balasnya memperkenalkan
dirinya.
“Kerja?” tanyaku.
Dia menggeleng.
“Masih kuliah semester
2. Kalo kamu?”
“Aku baru lulus.”
Bibirnya membentuk huruf
O saat mendengar jawabanku.
“Oppa, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Aku harus segera pulang.
Bisa-bisa orang rumah khawatir aku tidak pulang-pulang.”
Aku
mengangguk.
“Terima
kasih, Hyoyoung-ssi, sudah
menolongku.”
“Sama-sama,
oppa. Oppa bawa aja dulu botol minuman dan minyak kayu putih ini, untuk
berjaga-jaga kamu pusing lagi. Kalo ambruk lagi, aku gak jamin ada yang
menolongmu seperti yang barusan aku lakukan.”
Aku
tersenyum dan mengangguk.
“Sampai
jumpa, Yonghwa-oppa.”
Aku
membalas lambaiannya. Sebuah taksi berhenti di hadapannya dan membawanya pergi
dariku.
***
Masih di taman yang sama. Hari ini.
Haruskah aku
menyapanya? Sejak dua tahun lalu, kami beberapa kali bertemu tapi dia tak
pernah menunjukkan tanda-tanda mengenaliku. Seminggu setelah kejadian pingsanku
itu, aku kembali lagi ke taman ini, berniat bertemu dengannya. Aku tersenyum
saat dia melihatku dari kejauhan. Tapi, dia malah melengos dan melempar
pandangannya ke arah lain. Mungkin memang benar yang ambruk saat itu adalah
aku, tapi kurasa dialah yang mengalami gegar otak. Dia benar-benar tidak
mengenaliku.
“Makan
dulu.”
Lamunanku
terhenti saat kudengar lagi suaranya memanggilku setelah sekian lama.
Aku
mengangguk menanggapi basa-basinya.
“Hyoyoung-ssi?”
Dia
menoleh ke arahku.
“Ya?
Anda tahu namaku?” tanyanya bingung.
Aku
menggaruk rambutku. Kurasa memang dia tidak mengingatku.
“Aku
Jung Yonghwa. Dua tahun lalu kamu
menolongku di sini saat aku pingsan,” jawabku.
Bibirnya
membentuk huruf O saat mendengar jawabanku, yang membuatku reflek tertawa
kecil.
“Kenapa?”
Aku
menggeleng.
“Tidak,
tidak apa-apa.”
Hyoyoung tersenyum.
***
-Ryu Hyoyoung-
Aku
sedang membantu menyiapkan sarapan pagi di meja makan saat dia berlari masuk
dengan buru-buru ke dalam rumah.
“Hyonie! Hyonie!”
“Apa?
Aku di ruang makan. Pagi-pagi udah berisik aja.”
Dia
langsung menarikku masuk ke dalam kamar.
“Ada
apa?” tanyaku bingung.
Dia
mengibas-kibaskan tangannya di depannya, tanda dia sedang tidak sabar
menceritakan kejadian yang barusan dia alami. Atau orang lain alami. Atau
apapun itu yang ingin dia ceritakan padaku.
“Aku
sekarang tahu alasan kamu tak pernah menemukan pangeranmu itu,” jawabanya.
“Pangeran?
Siapa?”
“Duh,
si Jung-Jung itu,” jawabnya tak sabar.
“Jung Yonghwa. Dan alasannya?” tanyaku
yang juga mulai tak sabar.
“Kalian
jogging di hari yang berbeda! Dia
barusan menyapaku,” jawab dia dengan matanya yang melebar. Dia kembaranku. Ryu Hwayoung.
“Tapi…gimana
bisa? Aku bertemu dengannya saat aku jogging
di hari Sabtu. Aku menunggunya seminggu kemudian, tapi dia tidak muncul.”
“Ah
kalian ini. Belum jadian kok udah salah komunikasi,” ucapnya sambil tertawa.
“Sialan.
Lalu kamu bilang apa saat dia menyapamu?” tanyaku penasaran.
“Aku
iyain aja dia memanggilku dengan namamu. Kita kan sering mengiyakan panggilan
orang yang salah ke kita karna tidak ingin mengecewakan mereka,” jawabanya.
“Menjahili
mereka mungkin maksudmu,” koreksiku.
Hwayoung terkekeh.
“Apapun
lah itu. Tapi sekarang kamu berterimakasih padaku kan karna aku menemukan
kembali pangeranmu yang hilang itu?”
Aku
memeluknya.
“Iya,
aku sangat sangat sangat berterima kasih. Jadi kurasa kita harus bertukar
jadwal membantu eomma ya. Aku hari
Sabtu, dan kamu hari Minggu. Deal?”
Hwayoung tampak berpikir.
“Apa
keuntungannya untukku?”
“Kamu
bisa menonton kartun-kartun lucu di hari Minggu.”
“Deal!”
Aku
tersenyum senang.
“Oh
iya. Yonghwa-oppa menyebutkan botol
minuman dan minyak kayu putih tadi. Dia akan membawanya minggu depan. Itu
barang-barangmu?”
Aku
tak lagi mendengarkan omongan Hwayoung
dan sibuk membayangkan bagaimana pertemuanku dengannya hari Minggu depan. Ya,
sebelum satu suara membuyarkannya.
“Ryu Hyoyoung…! Ini meja makannya belum
siap kok sudah ditinggal?” teriak eomma
dari luar kamar.
***
Itu
dia!
Yonghwa-oppa tersenyum kepadaku dari
kejauhan dan melambaikan tangannya. Kubalas lambaian dan senyumannya.
“Sudah
lama? Maaf membuatmu menunggu.”
Ah,
suara itu akhirnya terdengar lagi. Dan…apakah ini efek kerinduan yang menumpuk
atau memang dia setampan ini dulu? Akhirnya aku bertemu dengannya setelah
sekian lama. Well, dia sudah bertemu
‘denganku’ minggu lalu.
Pagi, kamu yang membuatku menunggu dua
tahun.
Pagi, kamu yang membuatku menatap
jalanan jogging track yang kosong dengan kehadiranmu.
Pagi, kamu yang akhirnya
menemukanku.
Pagi,
Seoul, saksi dari rencana unik Tuhan untuk kami berdua.
-END-
0 komentar:
Posting Komentar