Sabtu, 22 Juni 2013

Pindahan Blog Yuk!

Diposting oleh Rachma I. Lestari 0 komentar


Nah, seperti yang dibilang oppa, yeobo, dan kedua temenku di atas, author pindahan nih ke wordpress. Cukup klik gambar di atas sudah membawa kalian ke dunia author yang baru...bersama mereka tentunya. Kekekeke~ Cheers!

Jumat, 21 Juni 2013

Is She Really The Right One, Jonghyun-ssi?

Diposting oleh Rachma I. Lestari 0 komentar
Title: Is She Really the Right One, Jonghyun-ssi?
Author:  Rachma Lestari
Rating: G
Genre: Romance, Humor
Length: Ficlet
Main Cast:
Lee Jonghyun CNBLUE
Other Cast:
Jung Yonghwa CNBLUE
Im Yoona SNSD

Disclaimer: Naskah yang author ikut sertakan di lomba #kpopkoplak, sayang gak menang :’( Jadi, daripada mubadzir, author post deh. ^^ Terinspirasi dari cerita author sendiri, yang dulu pernah naksir orang, tau namanya doang, tapi ternyata salah nemu fbnya. (yakali namanya cuman satu orang yang punya) :p


Is She Really The Right One, Jonghyun-ssi?



            Jam dinding di ruangan ini menunjukkan pukul 14.45. Waktu hanya tersisa 15 menit. Alih-alih memanfaatkan sisa waktu tersebut untuk mengkoreksi semua jawaban ujian bahasa inggris siang itu, Lee Jonghyun justru sedang asyik mengamati seorang perempuan yang duduk tak jauh darinya, hanya terpisahkan 3 meja. Rambutnya panjang terurai sebahu, sambil sesekali disibakkannya beberapa anak rambutnya ke belakang telinganya. Kepalanya menunduk, masih mengerjakan soal-soal yang disajikan di dua lembar kertas bolak-balik itu. Kulitnya putih, seperti kebanyakan orang Korea pada umumnya. Postur tubuhnya bagus, cenderung ke arah kurus menurut Jonghyun. Perempuan itu memakai kemeja polos berwarna biru muda, yang kebetulan merupakan warna kesukaan Jonghyun. Well, karena nama band-nya sendiri juga menggunakan nama warna itu. CN BLUE.
            “Waktu ujian kurang 5 menit lagi. Pastikan lagi jawaban kalian di lembar jawaban dan data diri kalian. Jika ada yang sudah selesai, silahkan kumpulkan lembar jawaban dan soal kalian ke saya,” ucap Ibu pengawas ujian ruangan ini.
            Jonghyun memutuskan untuk mengumpulkan lembar jawaban tersebut, diiringi tatapan kagum dari sebagian besar orang yang ada di ruangan itu. Sebagian kecilnya menggerutu tidak jelas. Sisanya tetap sibuk dengan soal-soal di hadapannya, seperti perempuan tadi.
            Jonghyun menunggu Yonghwa-hyung, yang juga mengambil tes bahasa inggris siang ini. Yonghwa-hyung berada di kelas sebelah. Hyung itu ‘kan lancar berbahasa inggris. Seharusnya dia bisa keluar dari tadi. Ah, hyung memang suka merendah diri di hadapan orang lain.
            Lima menit berlalu dan dengan cepat, lorong yang awalnya hanya terisi Jonghyun, segera penuh sesak oleh orang-orang yang baru selesai menyelesaikan ujian.
            “Hyung!” teriak Jonghyun memanggil Yonghwa yang baru saja keluar dari kelasnya.
            Yonghwa segera menghampirinya.
            “Ayo, manajer baru saja menghubungiku agar kita cepat kembali ke mobil,” ucap Yonghwa seraya menunjukkan ponselnya.
            “Eh, tapi…”
            Jonghyun tak sempat menyelesaikan kata-katanya karena tangannya sudah terlebih dulu ditarik Yonghwa menuju ke area parkir mobil. Selama perjalanan, semua mata tak lepas dari kedua bintang besar itu. Yonghwa tersenyum ke semua orang sambil sesekali membungkukkan badannya. Jonghyun melakukan hal yang sama tapi dia berharap perempuan yang diperhatikannya di kelas tadi tertangkap matanya.
            Aha!
            “Hyung, hyung. Tunggu.”
            Yonghwa berhenti dan menatap Jonghyun bingung.
            “Apa?”
            “Itu itu. Perempuan itu. Kau tau siapa dia?”
            Yonghwa mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Jonghyun. Dilihatnya seorang perempuan berkemeja biru dan tas selempang berwarna merah di bahunya.
            “Yoona?”
            “Yoona? Kamu kenal, hyung?”
            “Aku pernah sekelas dengannya di kelas seni setahun yang lalu.”
            Jonghyun mengangguk-anggukkan kepalanya.
            “Kau naksir, ya?”
            “Oh, itu. Emh…,” Jonghyun terbata-bata sambil menggaruk rambutnya.
            Drrt…drrt…
            Keduanya melihat ponsel Yonghwa yang bergetar. Manajer-hyungnim.
            “YA! Ayo cepat!”
            Yonghwa berlari cepat menuju mobil van berwarna hitam di area parkir, dan manajer mereka sudah berkacak pinggang di depannya. Mobil van mereka tampak menonjol karena rata-rata orang-orang di kampus menggunakan mobil sedan, bukan mobil besar seperti itu.
            “Siapa nama lengkapnya, hyung?” tanya Jonghyun di belakang Yonghwa.
            “Im Yoona!” teriak Yonghwa.
            Jonghyun tersenyum.
            Im Yoona.

***

            “Permisi…”
            Jonghyun membuka pintu ruang administrasi kampusnya. Hanya segelintir orang yang masih tinggal setelah berakhirnya jam kerja sekitar setengah jam yang lalu.
            Seorang perempuan yang tampaknya seusia ibu Jonghyun melongok dari kubikelnya. Tampang juteknya segera terpasang, tapi segera luluh tergantikan senyum manis saat melihat siapa pemilik suara yang memanggilnya barusan.
            “Lee Jonghyun? Ada apa?” tanyanya sambil memamerkan lipstick merah menyalanya di senyumannya.
            Jonghyun tersenyum.
            “Saya mau melihat data diri siswa yang ada di kelas ujian saya kemarin. Bisa?”
            Ibu tersebut tampak bimbang. Namun karena Jonghyun memasang wajah memelasnya, yang seharusnya tanpa dia berakting pun Ibu itu pasti akan memberikannya dengan sukarela.
            “Sebentar ya, saya cari dulu. Kalau boleh tau, kelas ujian apa dan hari apa ya?”
            “Hari Rabu minggu lalu, Bu. Ruang 204, kelas ujian Bahasa Inggris,” jawab Jonghyun lengkap.
            Jonghyun menunggu sekitar dua menit sampai akhirnya Ibu tersebut memberikan dokumen data diri siswa di kelasnya.
            “Memangnya untuk keperluan apa, Lee Jonghyun?”
            Jonghyun sudah menyiapkan jawaban untuk pertanyaan seperti ini.
            “Kemarin saya meminjam pensil dan penghapus salah seorang siswa di sana, Bu. Tapi karena saya harus segera kembali ke mobil saat ujian berakhir, saya tidak sempat mengembalikannya.
            Ibu tersebut mengangguk-anggukkan kepalanya, mengerti.
            “Wah, kamu bertanggung jawab sekali, ya. Sudah tampan, pintar, baik pula. Komplit,” timpal Ibu itu.
            Jonghyun tersenyum –ini sudah menjadi kebiasaannya untuk tersenyum pada siapapun-.
            Jonghyun membaca cepat nama-nama yang ada di daftar tersebut. Yoona, Yoona, Yoona. Ah, ketemu!
            Segera dicatatnya alamat rumah Yoona.
            “Terima kasih, Bu. Informasi ini sangat membantu saya,” ucap Jonghyun sambil menyerahkan dokumen tersebut kembali ke Ibu itu.
            “Sama-sama. Jonghyun, boleh minta tanda tangan? Kalau bisa juga sekalian foto bareng,” pinta Ibu itu malu-malu.

***

            Dengkuran Yonghwa terdengar dari balik punggung Jonghyun. Karena padatnya jadwal CNBLUE di akhir minggu kemarin, membuat semua personelnya lelah dan terkapar tak berdaya di tempat tidur masing-masing. Kecuali Jonghyun. Dibukanya kembali kertas kecil bertuliskan alamat rumah Yoona. Kesibukannya kemarin membuatnya baru sempat membaca kembali alamat itu.
            Hmm. Alamat ini tidak salah hanya berjarak beberapa blok dari dorm. Apa sebaiknya aku mengajaknya blind date?
            Jonghyun mengacak-acak rambutnya.
            Ini gila. Aku idola banyak perempuan di Korea. Cukup menunjuk salah satu anggota Boice pun aku sudah bisa mengadakan kencan romantis. Tapi aku malah tak berdaya di hadapan perempuan yang baru sekali kulihat. Ditambah aku mengenalnya hanya sebatas nama dan alamat rumahnya. Mungkin benar, blind date pilihan yang paling tepat. Ingin menyapanya di kampus, tapi aku tak pernah melihatnya. Mungkin dia mengambil mata kuliah yang berbeda denganku. Mata kuliah? Bodoh. Seharusnya kemarin sekalian meminta data kelas yang dia ambil ya? Kenapa aku begitu bodoh seperti ini?
            Jonghyun mengetuk-ketukkan dahinya ke meja.
            Bodoh amat. Aku akan mengajaknya kencan.

***

            Jonghyun menatap cemas pintu coffee shop ini, tempat yang dipilihnya sebagai tempat blind date-nya dengan Yoona. Tiap ada perempuan yang melangkah masuk, diamatinya dengan seksama. Tapi sejak sejam yang lalu dia duduk di mejanya, yang tentu saja terletak di pojok ruangan dengan pencahayaan yang minim, dia tidak melihat tanda-tanda perempuan yang mencarinya. Tanda-tanda seperti ini; masuk ke dalam coffee shop, menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu tersenyum ketika menatap Jonghyun. Yang Jonghyun lihat sedari tadi hanya sampai tanda-tanda kedua. Tidak ada yang tersenyum ke arahnya.
            Apa aku salah mengirim surat? Apa suratnya tidak sampai? Ah, aku kan menggunakan paket kilat. Seharusnya sehari pun sudah sampai, apalagi tempat tinggalnya tidak jauh.
            Krinciiing. Krinciiiing.
            Lonceng yang tergantung di pintu masuk berbunyi, tanda pintu coffee shop terbuka. Perempuan berambut pendek dan tinggi yang juga pendek, melangkah masuk. Dress yang dia pakai pun pendek. Perempuan itu melihat ke kanan dan ke kiri, sedang melakukan penyisiran di ruangan coffee shop ini. Matanya bertemu dengan mata Jonghyun. Perempuan itu tersenyum lebar, sangat lebar hingga Jonghyun bisa melihat gusinya.
            Jonghyun kebingungan. Memang tanda-tanda ini yang dia tunggu sedari tadi. Tapi…dia bukan Yoona.
            “Lee Jonghyun?”
Jonghyun mengangguk ragu.
 “Ya Tuhan, ternyata aku tidak bermimpi. Kamu tahu, aku hampir pingsan saat surat ini tiba di rumah kemarin. Kamu menyukaiku sejak kelas ujian bahasa inggris kemarin? Ah, pantas kemarin punggungku terasa panas. Ternyata sorot matamu yang melakukannya,” ucap perempuan pendek itu panjang lebar dan mengambil tempat di hadapan Jonghyun.
“Tunggu…Kamu Yoona? Kim Yoona?” tanya Jonghyun, memastikan.
Kim Yoona mengangguk.
“Iya, memangnya siapa lagi? Ah, kamu marah ya karna aku terlambat? Maaf, tadi aku harus menyelesaikan pekerjaan rumahku. Maaf membuatmu menunggu,” ucapnya lagi.
Jonghyun menggeleng.
“Tunggu, tapi…Emh, boleh aku lihat surat yang kukirim padamu?”
            Kim Yoona menyerahkan amplop berwarna biru muda. Jonghyun segera membuka dan membaca surat tersebut.
            Dear Kim Yoona.
Aku tahu kamu akan terkejut jika tahu siapa aku, pengirim surat ini. Kamu tahu, kita satu ruang di kelas ujian bahasa inggris kemarin. Kurasa kamu tidak sempat melihatku, karena kamu terlalu fokus dengan soal-soal di hadapanmu.
Dan maafkan perbuatanku yang so-last-year ini. Aku hanya berhasil mendapatkan alamat rumahmu, jadi surat ini satu-satunya caraku untuk menghubungimu. Aku tahu ini terlalu dini, tapi, maukah kamu bertemu denganku besok sore? Aku akan menunggumu di coffee shop ‘coftea’ dekat rumahmu.
Lee Jonghyun
           
            Tidak ada yang salah dari surat ini.
            Jonghyun menatap kembali perempuan di hadapannya.
            Tapi kenapa dia yang datang? Jangan-jangan aku salah mencatat alamat rumahnya!
            Jonghyun menepuk dahinya.
            “Ada yang salah, Jonghyun-ssi?”
            Ada yang salah!
Jonghyun menggeleng.
            “Tidak, tidak ada yang salah. Yoona-ssi, maaf aku harus segera kembali ke dorm. Aku baru ingat malam ini aku ada schedule di tempat lain. Maaf.”
            Jonghyun membungkukkan badannya, lalu segera pergi dari coffee shop itu.
            Maaf, Kim Yoona, atau siapapun kamu. Tapi bukan kamu yang aku maksud.

***

            “Baru sejam lalu kau keluar, dan sekarang sudah balik?”
            Itu komentar Yonghwa yang terucap saat melihat dongsaeng-nya kembali ke dorm.
            “Yoona tidak datang?” tebak Yonghwa.
            Jonghyun menggeleng.
            “Yoona datang, tapi bukan Yoona yang kumaksud. Memang ada berapa nama Kim Yoona sih di kelas?” tanya Jonghyun.
            Yonghwa tersedak saat meneguk minumannya.
            “Kim Yoona?”
            Jonghyun mengangguk.
            Hening, hanya hingar bingar suara TV yang terdengar.
            Tawa Yonghwa meledak, sampai dia pun terguling dari sofa dan terjatuh ke lantai. Yonghwa menghapus airmata yang keluar karena terlalu keras tertawa.
            “Kim Yoona? YA! Namanya Im Yoona!”
            Jonghyun bengong di hadapan Yonghwa, sedangkan Yonghwa melanjutkan tawanya sambil memukul-mukul bantal sofa. Airmatanya mengalir lagi dari sudut matanya. Kelakukan dongsaeng-nya ini benar-benar lucu.
            “Kau hubungi dia lewat ponselku aja. Aku baru ingat aku punya nomornya,” ucap Yonghwa saat dia sedikit bisa mengontrol tawanya.
            “AH HYUNG! KENAPA KAU TIDAK BILANG DARI KEMARIN???”
            Jonghyun yang hanya bisa diam dengan tampang polosnya pun akhirnya meledak. Yonghwa kembali tertawa.
           
-END-





Kamis, 20 Juni 2013

A Beautiful Morning in Seoul

Diposting oleh Rachma I. Lestari 0 komentar
Title: A Beautiful Morning in Seoul
Author: Rachma Lestari
Genre: Comedy-Romantic
Cast: Jung Hyongwa, Ryu Hyoyoung, Ryu Hwayoung
Disclaimer: Salah satu naskah yang pernah kukirim untuk lomba “Setiap Kota Punya Cerita.” Sebenarnya setting awalnya di Indonesia dan memakai karakter orang Indonesia. Tapi aku modif menjadi nuansa korea dan memakai tokoh-tokoh yang sudah kita kenal. ^^
Note: Sebenarnya ingin memakai karakter Lee Jonghyun, tapi dalam rangka ulang tahun Jung Yonghwa, aku menggantinya dengan dia. Kekeke. Enjoy!


A Beautiful Morning in Seoul


-Jung Yonghwa-
            Masih jam lima pagi dan aku sudah duduk manis di salah satu taman yang ada di Seoul. Matahari masih malu-malu menyapa dari ufuk timur. Dinginnya sisa udara malam masih terasa di sekujur tubuh. Kurapatkan resleting jaketku. Jika bukan karena dia, aku tak akan pernah rela memasang alarm jam enam pagi, lalu bersiap untuk datang ke tempat ini. Meski yang selalu terjadi adalah aku hanya duduk dengan botol air mineralku dan koran yang kubeli di dalam perjalananku kemari. Terlalu rajin untuk bangun pagi dan terlalu malas menggerakkan kakiku untuk berlari di jogging track. Lalu apa yang kulakukan di sini? Pertanyaan itu akan terjawab sekitar 10 menit lagi. Kurang lebih.
            Kubuka botol air mineralku dan meneguk secukupnya, sekedar membasahi tenggorokan yang kering. Seorang perempuan dengan kaos putih dan celana training berwarna ungu berlari di area jogging track di depanku. Perempuan itu berhenti lalu berjalan ke area kosong di luar jogging track. Dia mulai melakukan gerakan-gerakan dasar senam; merentangkan kedua tangannya ke samping, merentangkan kedua tangannya ke atas, membungkukkan badannya hingga tangannya menyentuh ujung kakinya, meletakkan kedua tangannya di pinggang lalu menarik badanannya ke belakang.
            Aku tersenyum tanpa kusadari. Pemandangan inilah yang membuatku datang ke sini tiap Minggu sejak 2 tahun lalu. Dua tahun berlalu, aku masih setia menjadi penontonnya, tanpa pernah berniat sedikitpun untuk terjun ke dunianya.

***

            Pagi minggu kedua di bulan Mei tiba. Tak perlu kujelaskan lagi apa yang sedang kulakukan di taman pagi ini, bukan?
            Kulihat jam Armani di pergelangan tanganku. Begitu aku mendongakkan wajahku kembali, perempuan yang kutunggu sudah tiba. ‘Kutunggu’ mungkin bukan kata yang tepat karena sesungguhnya perempuan itu tak pernah membuat janji denganku.
            Kali ini dia langsung duduk di salah satu tempat duduk tak jauh dariku. Membeli sebotol air mineral di pedagang terdekat dan meneguknya habis dalam hitungan detik.
            Sepersekian detik mata kami bertemu di satu titik, tapi dia segera mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ya, apa yang mau kuharapkan sebenarnya? Dia tersenyum padaku? Tersenyum pada orang asing yang tidak melakukan apapun di Minggu pagi? In your dream, dude.
            Sorot matanya menyapu ke seluruh area di sekitar kami dan akhirnya berhenti di penjual sup daging sapi panas di sampingku. This is it. Dia berjalan ke arahku. Maksudku, ke ibu penjual sup.
            “Ahjumma, supnya satu,” ucapnya.
            Dia melihat ke arahku.
            “Permisi, tempat duduk ini kosong?” tanyanya menunjuk sisi lain bangku yang kududuki.
            Aku mengangguk.
            Tubuhku terbujur kaku di sebelahnya. Dua tahun berlalu dan baru kali ini aku berada sedekat ini di dekatnya. Well, tentu saja setelah kejadian itu.

***

            Dua tahun lalu di taman yang sama di Seoul…
            Entah sudah putaran ke berapa aku berlari di area jogging track ini. Puluhan? Tidak. Aku berani bertaruh bahwa putaran ini sudah mencapai tiga digit angka. Kakiku terus berlari, memaksa tubuhku untuk tetap tegak mengimbanginya. Jika bukan karena syarat berat badan di lowongan pekerjaan yang akan aku apply, aku tidak akan memaksakan tubuhku berolahraga seperti ini.
            Kakiku masih berlari, namun anggota tubuhku yang lain mulai memberikan sinyal untuk menyerah. Tubuhku terasa lemas dan pandangan mataku lambat laun memudar, kehilangan fokusnya.
            Bruk.
            Aku terjatuh di area jogging track. Orang-orang yang ada di sekitarku secara otomatis mendekatiku dan menolongku. Sebuah jemari yang terasa lembut di kulitku menyentuh lenganku. Dia berlutut di sebelahku, tampak cemas melihat kondisiku.
            “Tolong, Ahjussi. Tolong diangkat ke pinggir, ke tempat yang lebih teduh. Tolong jangan berkerumun seperti ini, nanti dia malah tidak bisa menghirup udara segar,” ucapnya pada orang-orang di sekitar kami.
            “Cepatlah sadar.”
            Dia mendeatkan sebotol minyak kayu putih ke arah hidungku, mencoba menyadarkanku dengan baunya. Kukerjap-kerjapkan mataku.
            “Syukurlah kamu sadar.”
            Dia memberiku botol air mineral.
            “Diminum dulu.”
            Aku meneguknya dan pandanganku sudah kembali lagi. Orang-orang di sekitarku mulai membubarkan diri, tapi tidak dengan perempuan di sampingku yang menolongku.
            “Kamu tadi pingsan, mungkin terlalu capek berolahraga,” ucapnya memberitahuku sesaat setelah raut wajahku menunjukkan kebingungannya.
            “Oh gitu…”
            Hanya itu kata-kata yang keluar dari mulutku.
            “Kamu mau sarapan? Sepertinya kamu butuh sarapan,” tawarnya lagi. Kali ini benar-benar hanya dia yang masih menemaniku. Orang-orang mulai melanjutkan aktivitasnya masing-masing, setelah cukup ‘terhibur’ dengan ambruknya badanku tadi.
            Aku hanya mengangguk.
            “Ahjumma, tolong supnya satu.”
            Dia memesan satu semanggi untukku.
            “Kamu tidak makan?” tanyaku.
            Dia mengeleng.
            “Aku sudah makan tadi. Mungkin saat kamu mencapai putaranmu yang ke-50.”
            Aku terkekeh.
            “Sudah mengamatiku dari tadi?”
            Dia mengangguk.
            “Maksud hati ingin beristirahat dan pulang, tapi siapa sangka ada pemandangan aneh yang terjadi. Di saat orang lain menyerah berlari, kamu malah terus berlari dan berlari. Ada mungkin udah ratusan,” jawabnya.
            Aku tertawa.
            “Benar-benar tidak seperti orang yang habis pingsan,” decaknya.
            Aku makin tertawa.
            “Jung Yonghwa,” ucapku memperkenalkan diri.
            “Ryu Hyoyoung,” balasnya memperkenalkan dirinya.
“Kerja?” tanyaku.
Dia menggeleng.
“Masih kuliah semester 2. Kalo kamu?”
“Aku baru lulus.”
Bibirnya membentuk huruf O saat mendengar jawabanku.
Oppa, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Aku harus segera pulang. Bisa-bisa orang rumah khawatir aku tidak pulang-pulang.”
            Aku mengangguk.
            “Terima kasih, Hyoyoung-ssi, sudah menolongku.”
            “Sama-sama, oppa. Oppa bawa aja dulu botol minuman dan minyak kayu putih ini, untuk berjaga-jaga kamu pusing lagi. Kalo ambruk lagi, aku gak jamin ada yang menolongmu seperti yang barusan aku lakukan.”
            Aku tersenyum dan mengangguk.
            “Sampai jumpa, Yonghwa-oppa.”
            Aku membalas lambaiannya. Sebuah taksi berhenti di hadapannya dan membawanya pergi dariku.

***

            Masih di taman yang sama. Hari ini.
            Haruskah aku menyapanya? Sejak dua tahun lalu, kami beberapa kali bertemu tapi dia tak pernah menunjukkan tanda-tanda mengenaliku. Seminggu setelah kejadian pingsanku itu, aku kembali lagi ke taman ini, berniat bertemu dengannya. Aku tersenyum saat dia melihatku dari kejauhan. Tapi, dia malah melengos dan melempar pandangannya ke arah lain. Mungkin memang benar yang ambruk saat itu adalah aku, tapi kurasa dialah yang mengalami gegar otak. Dia benar-benar tidak mengenaliku.
            “Makan dulu.”
            Lamunanku terhenti saat kudengar lagi suaranya memanggilku setelah sekian lama.
            Aku mengangguk menanggapi basa-basinya.
            “Hyoyoung-ssi?”
            Dia menoleh ke arahku.
            “Ya? Anda tahu namaku?” tanyanya bingung.
            Aku menggaruk rambutku. Kurasa memang dia tidak mengingatku.
            “Aku Jung Yonghwa. Dua tahun lalu kamu menolongku di sini saat aku pingsan,” jawabku.
            Bibirnya membentuk huruf O saat mendengar jawabanku, yang membuatku reflek tertawa kecil.
            “Kenapa?”
            Aku menggeleng.
            “Tidak, tidak apa-apa.”
            Hyoyoung tersenyum.

***

-Ryu Hyoyoung-
            Aku sedang membantu menyiapkan sarapan pagi di meja makan saat dia berlari masuk dengan buru-buru ke dalam rumah.
            “Hyonie! Hyonie!”
            “Apa? Aku di ruang makan. Pagi-pagi udah berisik aja.”
            Dia langsung menarikku masuk ke dalam kamar.
            “Ada apa?” tanyaku bingung.
            Dia mengibas-kibaskan tangannya di depannya, tanda dia sedang tidak sabar menceritakan kejadian yang barusan dia alami. Atau orang lain alami. Atau apapun itu yang ingin dia ceritakan padaku.
            “Aku sekarang tahu alasan kamu tak pernah menemukan pangeranmu itu,” jawabanya.
            “Pangeran? Siapa?”
            “Duh, si Jung-Jung itu,” jawabnya tak sabar.
            “Jung Yonghwa. Dan alasannya?” tanyaku yang juga mulai tak sabar.
            “Kalian jogging di hari yang berbeda! Dia barusan menyapaku,” jawab dia dengan matanya yang melebar. Dia kembaranku. Ryu Hwayoung.
            “Tapi…gimana bisa? Aku bertemu dengannya saat aku jogging di hari Sabtu. Aku menunggunya seminggu kemudian, tapi dia tidak muncul.”
            “Ah kalian ini. Belum jadian kok udah salah komunikasi,” ucapnya sambil tertawa.
            “Sialan. Lalu kamu bilang apa saat dia menyapamu?” tanyaku penasaran.
            “Aku iyain aja dia memanggilku dengan namamu. Kita kan sering mengiyakan panggilan orang yang salah ke kita karna tidak ingin mengecewakan mereka,” jawabanya.
            “Menjahili mereka mungkin maksudmu,” koreksiku.
            Hwayoung terkekeh.
            “Apapun lah itu. Tapi sekarang kamu berterimakasih padaku kan karna aku menemukan kembali pangeranmu yang hilang itu?”
            Aku memeluknya.
            “Iya, aku sangat sangat sangat berterima kasih. Jadi kurasa kita harus bertukar jadwal membantu eomma ya. Aku hari Sabtu, dan kamu hari Minggu. Deal?”
            Hwayoung tampak berpikir.
            “Apa keuntungannya untukku?”
            “Kamu bisa menonton kartun-kartun lucu di hari Minggu.”
            “Deal!
            Aku tersenyum senang.
            “Oh iya. Yonghwa-oppa menyebutkan botol minuman dan minyak kayu putih tadi. Dia akan membawanya minggu depan. Itu barang-barangmu?”
            Aku tak lagi mendengarkan omongan Hwayoung dan sibuk membayangkan bagaimana pertemuanku dengannya hari Minggu depan. Ya, sebelum satu suara membuyarkannya.
            “Ryu Hyoyoung…! Ini meja makannya belum siap kok sudah ditinggal?” teriak eomma dari luar kamar.
***

            Itu dia!
            Yonghwa-oppa tersenyum kepadaku dari kejauhan dan melambaikan tangannya. Kubalas lambaian dan senyumannya.
            “Sudah lama? Maaf membuatmu menunggu.”
            Ah, suara itu akhirnya terdengar lagi. Dan…apakah ini efek kerinduan yang menumpuk atau memang dia setampan ini dulu? Akhirnya aku bertemu dengannya setelah sekian lama. Well, dia sudah bertemu ‘denganku’ minggu lalu.
            Pagi, kamu yang membuatku menunggu dua tahun.
Pagi, kamu yang membuatku menatap jalanan jogging track yang kosong dengan kehadiranmu.
            Pagi, kamu yang akhirnya menemukanku.
            Pagi, Seoul, saksi dari rencana unik Tuhan untuk kami berdua.

-END-
 

YOUniverse Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei