Kamis, 20 Juni 2013

A Beautiful Morning in Seoul

Diposting oleh Rachma I. Lestari
Title: A Beautiful Morning in Seoul
Author: Rachma Lestari
Genre: Comedy-Romantic
Cast: Jung Hyongwa, Ryu Hyoyoung, Ryu Hwayoung
Disclaimer: Salah satu naskah yang pernah kukirim untuk lomba “Setiap Kota Punya Cerita.” Sebenarnya setting awalnya di Indonesia dan memakai karakter orang Indonesia. Tapi aku modif menjadi nuansa korea dan memakai tokoh-tokoh yang sudah kita kenal. ^^
Note: Sebenarnya ingin memakai karakter Lee Jonghyun, tapi dalam rangka ulang tahun Jung Yonghwa, aku menggantinya dengan dia. Kekeke. Enjoy!


A Beautiful Morning in Seoul


-Jung Yonghwa-
            Masih jam lima pagi dan aku sudah duduk manis di salah satu taman yang ada di Seoul. Matahari masih malu-malu menyapa dari ufuk timur. Dinginnya sisa udara malam masih terasa di sekujur tubuh. Kurapatkan resleting jaketku. Jika bukan karena dia, aku tak akan pernah rela memasang alarm jam enam pagi, lalu bersiap untuk datang ke tempat ini. Meski yang selalu terjadi adalah aku hanya duduk dengan botol air mineralku dan koran yang kubeli di dalam perjalananku kemari. Terlalu rajin untuk bangun pagi dan terlalu malas menggerakkan kakiku untuk berlari di jogging track. Lalu apa yang kulakukan di sini? Pertanyaan itu akan terjawab sekitar 10 menit lagi. Kurang lebih.
            Kubuka botol air mineralku dan meneguk secukupnya, sekedar membasahi tenggorokan yang kering. Seorang perempuan dengan kaos putih dan celana training berwarna ungu berlari di area jogging track di depanku. Perempuan itu berhenti lalu berjalan ke area kosong di luar jogging track. Dia mulai melakukan gerakan-gerakan dasar senam; merentangkan kedua tangannya ke samping, merentangkan kedua tangannya ke atas, membungkukkan badannya hingga tangannya menyentuh ujung kakinya, meletakkan kedua tangannya di pinggang lalu menarik badanannya ke belakang.
            Aku tersenyum tanpa kusadari. Pemandangan inilah yang membuatku datang ke sini tiap Minggu sejak 2 tahun lalu. Dua tahun berlalu, aku masih setia menjadi penontonnya, tanpa pernah berniat sedikitpun untuk terjun ke dunianya.

***

            Pagi minggu kedua di bulan Mei tiba. Tak perlu kujelaskan lagi apa yang sedang kulakukan di taman pagi ini, bukan?
            Kulihat jam Armani di pergelangan tanganku. Begitu aku mendongakkan wajahku kembali, perempuan yang kutunggu sudah tiba. ‘Kutunggu’ mungkin bukan kata yang tepat karena sesungguhnya perempuan itu tak pernah membuat janji denganku.
            Kali ini dia langsung duduk di salah satu tempat duduk tak jauh dariku. Membeli sebotol air mineral di pedagang terdekat dan meneguknya habis dalam hitungan detik.
            Sepersekian detik mata kami bertemu di satu titik, tapi dia segera mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ya, apa yang mau kuharapkan sebenarnya? Dia tersenyum padaku? Tersenyum pada orang asing yang tidak melakukan apapun di Minggu pagi? In your dream, dude.
            Sorot matanya menyapu ke seluruh area di sekitar kami dan akhirnya berhenti di penjual sup daging sapi panas di sampingku. This is it. Dia berjalan ke arahku. Maksudku, ke ibu penjual sup.
            “Ahjumma, supnya satu,” ucapnya.
            Dia melihat ke arahku.
            “Permisi, tempat duduk ini kosong?” tanyanya menunjuk sisi lain bangku yang kududuki.
            Aku mengangguk.
            Tubuhku terbujur kaku di sebelahnya. Dua tahun berlalu dan baru kali ini aku berada sedekat ini di dekatnya. Well, tentu saja setelah kejadian itu.

***

            Dua tahun lalu di taman yang sama di Seoul…
            Entah sudah putaran ke berapa aku berlari di area jogging track ini. Puluhan? Tidak. Aku berani bertaruh bahwa putaran ini sudah mencapai tiga digit angka. Kakiku terus berlari, memaksa tubuhku untuk tetap tegak mengimbanginya. Jika bukan karena syarat berat badan di lowongan pekerjaan yang akan aku apply, aku tidak akan memaksakan tubuhku berolahraga seperti ini.
            Kakiku masih berlari, namun anggota tubuhku yang lain mulai memberikan sinyal untuk menyerah. Tubuhku terasa lemas dan pandangan mataku lambat laun memudar, kehilangan fokusnya.
            Bruk.
            Aku terjatuh di area jogging track. Orang-orang yang ada di sekitarku secara otomatis mendekatiku dan menolongku. Sebuah jemari yang terasa lembut di kulitku menyentuh lenganku. Dia berlutut di sebelahku, tampak cemas melihat kondisiku.
            “Tolong, Ahjussi. Tolong diangkat ke pinggir, ke tempat yang lebih teduh. Tolong jangan berkerumun seperti ini, nanti dia malah tidak bisa menghirup udara segar,” ucapnya pada orang-orang di sekitar kami.
            “Cepatlah sadar.”
            Dia mendeatkan sebotol minyak kayu putih ke arah hidungku, mencoba menyadarkanku dengan baunya. Kukerjap-kerjapkan mataku.
            “Syukurlah kamu sadar.”
            Dia memberiku botol air mineral.
            “Diminum dulu.”
            Aku meneguknya dan pandanganku sudah kembali lagi. Orang-orang di sekitarku mulai membubarkan diri, tapi tidak dengan perempuan di sampingku yang menolongku.
            “Kamu tadi pingsan, mungkin terlalu capek berolahraga,” ucapnya memberitahuku sesaat setelah raut wajahku menunjukkan kebingungannya.
            “Oh gitu…”
            Hanya itu kata-kata yang keluar dari mulutku.
            “Kamu mau sarapan? Sepertinya kamu butuh sarapan,” tawarnya lagi. Kali ini benar-benar hanya dia yang masih menemaniku. Orang-orang mulai melanjutkan aktivitasnya masing-masing, setelah cukup ‘terhibur’ dengan ambruknya badanku tadi.
            Aku hanya mengangguk.
            “Ahjumma, tolong supnya satu.”
            Dia memesan satu semanggi untukku.
            “Kamu tidak makan?” tanyaku.
            Dia mengeleng.
            “Aku sudah makan tadi. Mungkin saat kamu mencapai putaranmu yang ke-50.”
            Aku terkekeh.
            “Sudah mengamatiku dari tadi?”
            Dia mengangguk.
            “Maksud hati ingin beristirahat dan pulang, tapi siapa sangka ada pemandangan aneh yang terjadi. Di saat orang lain menyerah berlari, kamu malah terus berlari dan berlari. Ada mungkin udah ratusan,” jawabnya.
            Aku tertawa.
            “Benar-benar tidak seperti orang yang habis pingsan,” decaknya.
            Aku makin tertawa.
            “Jung Yonghwa,” ucapku memperkenalkan diri.
            “Ryu Hyoyoung,” balasnya memperkenalkan dirinya.
“Kerja?” tanyaku.
Dia menggeleng.
“Masih kuliah semester 2. Kalo kamu?”
“Aku baru lulus.”
Bibirnya membentuk huruf O saat mendengar jawabanku.
Oppa, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Aku harus segera pulang. Bisa-bisa orang rumah khawatir aku tidak pulang-pulang.”
            Aku mengangguk.
            “Terima kasih, Hyoyoung-ssi, sudah menolongku.”
            “Sama-sama, oppa. Oppa bawa aja dulu botol minuman dan minyak kayu putih ini, untuk berjaga-jaga kamu pusing lagi. Kalo ambruk lagi, aku gak jamin ada yang menolongmu seperti yang barusan aku lakukan.”
            Aku tersenyum dan mengangguk.
            “Sampai jumpa, Yonghwa-oppa.”
            Aku membalas lambaiannya. Sebuah taksi berhenti di hadapannya dan membawanya pergi dariku.

***

            Masih di taman yang sama. Hari ini.
            Haruskah aku menyapanya? Sejak dua tahun lalu, kami beberapa kali bertemu tapi dia tak pernah menunjukkan tanda-tanda mengenaliku. Seminggu setelah kejadian pingsanku itu, aku kembali lagi ke taman ini, berniat bertemu dengannya. Aku tersenyum saat dia melihatku dari kejauhan. Tapi, dia malah melengos dan melempar pandangannya ke arah lain. Mungkin memang benar yang ambruk saat itu adalah aku, tapi kurasa dialah yang mengalami gegar otak. Dia benar-benar tidak mengenaliku.
            “Makan dulu.”
            Lamunanku terhenti saat kudengar lagi suaranya memanggilku setelah sekian lama.
            Aku mengangguk menanggapi basa-basinya.
            “Hyoyoung-ssi?”
            Dia menoleh ke arahku.
            “Ya? Anda tahu namaku?” tanyanya bingung.
            Aku menggaruk rambutku. Kurasa memang dia tidak mengingatku.
            “Aku Jung Yonghwa. Dua tahun lalu kamu menolongku di sini saat aku pingsan,” jawabku.
            Bibirnya membentuk huruf O saat mendengar jawabanku, yang membuatku reflek tertawa kecil.
            “Kenapa?”
            Aku menggeleng.
            “Tidak, tidak apa-apa.”
            Hyoyoung tersenyum.

***

-Ryu Hyoyoung-
            Aku sedang membantu menyiapkan sarapan pagi di meja makan saat dia berlari masuk dengan buru-buru ke dalam rumah.
            “Hyonie! Hyonie!”
            “Apa? Aku di ruang makan. Pagi-pagi udah berisik aja.”
            Dia langsung menarikku masuk ke dalam kamar.
            “Ada apa?” tanyaku bingung.
            Dia mengibas-kibaskan tangannya di depannya, tanda dia sedang tidak sabar menceritakan kejadian yang barusan dia alami. Atau orang lain alami. Atau apapun itu yang ingin dia ceritakan padaku.
            “Aku sekarang tahu alasan kamu tak pernah menemukan pangeranmu itu,” jawabanya.
            “Pangeran? Siapa?”
            “Duh, si Jung-Jung itu,” jawabnya tak sabar.
            “Jung Yonghwa. Dan alasannya?” tanyaku yang juga mulai tak sabar.
            “Kalian jogging di hari yang berbeda! Dia barusan menyapaku,” jawab dia dengan matanya yang melebar. Dia kembaranku. Ryu Hwayoung.
            “Tapi…gimana bisa? Aku bertemu dengannya saat aku jogging di hari Sabtu. Aku menunggunya seminggu kemudian, tapi dia tidak muncul.”
            “Ah kalian ini. Belum jadian kok udah salah komunikasi,” ucapnya sambil tertawa.
            “Sialan. Lalu kamu bilang apa saat dia menyapamu?” tanyaku penasaran.
            “Aku iyain aja dia memanggilku dengan namamu. Kita kan sering mengiyakan panggilan orang yang salah ke kita karna tidak ingin mengecewakan mereka,” jawabanya.
            “Menjahili mereka mungkin maksudmu,” koreksiku.
            Hwayoung terkekeh.
            “Apapun lah itu. Tapi sekarang kamu berterimakasih padaku kan karna aku menemukan kembali pangeranmu yang hilang itu?”
            Aku memeluknya.
            “Iya, aku sangat sangat sangat berterima kasih. Jadi kurasa kita harus bertukar jadwal membantu eomma ya. Aku hari Sabtu, dan kamu hari Minggu. Deal?”
            Hwayoung tampak berpikir.
            “Apa keuntungannya untukku?”
            “Kamu bisa menonton kartun-kartun lucu di hari Minggu.”
            “Deal!
            Aku tersenyum senang.
            “Oh iya. Yonghwa-oppa menyebutkan botol minuman dan minyak kayu putih tadi. Dia akan membawanya minggu depan. Itu barang-barangmu?”
            Aku tak lagi mendengarkan omongan Hwayoung dan sibuk membayangkan bagaimana pertemuanku dengannya hari Minggu depan. Ya, sebelum satu suara membuyarkannya.
            “Ryu Hyoyoung…! Ini meja makannya belum siap kok sudah ditinggal?” teriak eomma dari luar kamar.
***

            Itu dia!
            Yonghwa-oppa tersenyum kepadaku dari kejauhan dan melambaikan tangannya. Kubalas lambaian dan senyumannya.
            “Sudah lama? Maaf membuatmu menunggu.”
            Ah, suara itu akhirnya terdengar lagi. Dan…apakah ini efek kerinduan yang menumpuk atau memang dia setampan ini dulu? Akhirnya aku bertemu dengannya setelah sekian lama. Well, dia sudah bertemu ‘denganku’ minggu lalu.
            Pagi, kamu yang membuatku menunggu dua tahun.
Pagi, kamu yang membuatku menatap jalanan jogging track yang kosong dengan kehadiranmu.
            Pagi, kamu yang akhirnya menemukanku.
            Pagi, Seoul, saksi dari rencana unik Tuhan untuk kami berdua.

-END-

0 komentar:

Posting Komentar

 

YOUniverse Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei